Pagi-pagi kami bangun dan tersedia seonggok Ya***a M*0 yang siap diajak jalan-jalan keliling
Ende. Kami jalan-jalan tanpa ditemani Pak Teguh yang kebetulan hari itu dia
bekerja. Tujuan pertama kami adalah Pasar Tradisonal Ende. Melihat suasana
ramainya pasar yang berada ditepian laut ini. Ikan laut merupakan komoditas
utama di pasar ini. Kami berkeliling melihat apa saja yang dijual dan mata kami
tertuju pada sebuah lapak Kain Tenun Flores. Teringat sudah berbagai macam
titipan emak saya dirumah, hehehe.
Harga kain yang relative terjangkau dan banyak pilihan motif
membuat saya bingung menentukan pilihan. Kain tenun flores didominasi dengan
warna hitam. Sampai saatnya saya bertemu dengan seorang pedagang bernama
Achmad. Melihat wajahnya memang seperti pendatang dan berumur sekitar 18 tahun.
Dia menjual tenun dengan berbagai motif dan kualitas. Harga pun ditawar bisa,
antara 35.000-300.000 tergantung ukuran.
Saya Bersama Achmad sang Pedagang
Pedagang-pedagang lain yang Punya Beragam Motif Kain Tenun
Setelah puas berbelanja, saya dan Onggo menuju sebuah taman
yang katanya dulu tempat Soekarno mencari inspirasi saat diasingkan di Ende
ini. Soekarno diasingkan di Ende selama 4 tahun (1934-1938). Setelah dari taman
kami menuju Jalan Perwira untuk mencari Rumah pengasingan Soekarno. Kami banyak
bertanya pada wrga setempat karena kami memang tidak tahu jalan di Kota Ende
tersebut, Akhirnya sebuah jalan kecil yang dinamakan Jalan Perwira ketemu juga,
hehehe. Dan yaaapp, Rumah Pengasingan Soekarno jadi kotak seng, dan terdapat
tulisan “Maaf, sedang tahap renovasi*, yaelah lemesss.
Sedang Perbaikkan
Setelang siang, kami langsung pulang menuju rumah Pak Teguh
dan makan siang. Sebelum pulang kami sempatkan membeli mangga Flores yang
gedenya minta ampun, hehehe. Harga 20.000 cuma dapet 3 biji, hadeeeh. Jadilah
makan siang kali ini 4 sehat 5 sempurna, hehehe.
Sama piring, Gedean Mangganya...
Setelah pak teguh pulang kerja, kami disiapkan dengan sebuah
mobil kijang plat merah, seperti mobil camat yang lama tidak dipake, sungguh
mengenaskan. Tapi tak apalah, yang penting (sepertinya) layak jalan, hehehe.
Kami rencanakan untuk pergi ke sebuah pantai dan desa adat Wolotopo.
Kami pergi bersama Pak Teguh serta Istri dan anaknya,
jadilah kami piknik keluarga, hehehe. Tujuan pertama di sebuah pantai pasir
hitam. Jalan menuju pantai ini juga ribet sekali, kecil dan naik turun bukit.
Setelah sampai dipantai, rasa nya ingin segera nyebur ke pantai… Airnya jernih
dan sangat sepii. Hanya ada seekor kuda yang lagi galau sendirian
disana,hahaha.
Langsung saja Basah-basahan
Ngintip Kuda
Kuda yang Diintip..hehehe
Pasir hitam dengan hiasan bukit karang menjadi pemandangan
tersendiri disaat matahari akan terbenam. Kami puaskan rasa ingin menyentuh air
laut, dingin dan segar rasanya. Bermain dipasir kayak anak TK ketemu bak pasir
disekolahnya, hehehee.
Piknik Keluarga...hehehe
Matahari yang Jernih tanpa Polusi
Puas dengan pantai, kami menuju rumah bapak Bernadus Dei,
ketua adat desa Wolotopo. Kebetulan juga bapak Bernadus merupakan salah satu
pegawai TN. Kelimutu juga. Kami dampai didesa Wolotopo, dari tempat kami parkir
kendaraan menuju rumahnya sugguh PR banget, nanjak abiss men!
Nampak Dari Bukit Seberang
Nampak saat Kami Berjalan Ke Puncaknya
Rumah beratap dengan Seng mengikuti Jaman
Umur panjang
Terlihat Rumah adat yang masih dipertahankan bentuk dan
bahan bangunannya. Masih juga ada ibu-ibu yang membuat kain tenun. Kami menuju
puncaknya lagi, terdapat kubur duduk dan kubur batu peninggalan jaman
Megalithikum. Pada masanya warga yang meninggal akan dikubur duduk sebelum
mereka mendapatkan kubur batu. Ukuran ukur batu sekitar 1,5m x 0,5m x 0,5m. Berat batu bisa
mencapai 1 ton. Mereka mendapatkan
batu-batu tersebut dari bukit-bukit yang lumayan jauh jaraknya.
Peti selama menunggu persediaan Batu untuk Kubur
Suasana di Senja Hari
Kubur Batu
Pak Bernardus Menjelaskan Detail
Kami turun menuju rumah adat milik Bapak Bernadus. Dia masih
mempertahankan atap berbahan alang-alang dan kayu besi untuk bagian pondasi
rumahnya. Biaya pembuatan rumah bisa sangat mahal karena tiap pemasangan bagian
dari rumah harus melalui upacara adat.
Bagian Ruangan untuk yang Sakit
Tempat memasak yang sangat Mahal Biaya "Selamatannya"
Kami bersantai sejenak di teras rumah bapak Bernadus sambil
mencicipi Kopi flores dan gorengan seadanya. Mantap rasanya sambil ngobrol.
Terlihat juga bagian belakang rumah berhadapan langsung dengan laut.
Santai di Teras Rumah
Pemandangan depan rumah seperti ini, sapa yang Nolak???
Kami segera berpamitan dengan Pak Bernadus untuk melanjutkan
perjalanan kami. Stetelah dari desa adat kami langsung berburu kuliner di Ende,
ya ikan laut dengan bumbu Endenya. Tibalah kami di sebuah rumah makan dipiggir
pantai. Sebuah ikan kakap besar menjadi menu malam ini. Mak nyuss. Beum kenyang
rasanya, lanjut lagi di warung kaki lima, Mie Ayam (lho?). Beda lho dengan mie ayam Jawa, karena bumbu
ayamnya menggunakan bumbu Kare…enak poll dan perut dah ngga muat lagi.
Dinner Spesial
Saya dan Onggo menuju hotel ikhlas menemui teman saya Sendi,
Meike dan Laras yang kebetulan pagi besok akan menuju Kelimutu. Kami berbincang
untuk rencana besok pagi. Mereka akan berangkat dengan Travel yang sudah mereka
sewa, dan saya dan Onggo akan menggunakan M*0 pak Teguh untuk naik, karena
setelah dari Kelimutu kami akan lanjut ke Maumere. Malam ini kami tidur dengan tenang karena perung kenyang. Beristirahat untuk menyiapkan serangan fajar besok pagi. (Bersambung)
PT. Eigerindo Multi Produk Industri
Eiger Adventure Store (EAS)
Jln. Teuku Umar No.92. Denpasar