Senin, 26 November 2012

OVERLAND FLORES #Day5: Ende, Sejarah Soekarno Ada Disini


Pagi-pagi kami bangun dan tersedia seonggok Ya***a  M*0 yang siap diajak jalan-jalan keliling Ende. Kami jalan-jalan tanpa ditemani Pak Teguh yang kebetulan hari itu dia bekerja. Tujuan pertama kami adalah Pasar Tradisonal Ende. Melihat suasana ramainya pasar yang berada ditepian laut ini. Ikan laut merupakan komoditas utama di pasar ini. Kami berkeliling melihat apa saja yang dijual dan mata kami tertuju pada sebuah lapak Kain Tenun Flores. Teringat sudah berbagai macam titipan emak saya dirumah, hehehe.
Harga kain yang relative terjangkau dan banyak pilihan motif membuat saya bingung menentukan pilihan. Kain tenun flores didominasi dengan warna hitam. Sampai saatnya saya bertemu dengan seorang pedagang bernama Achmad. Melihat wajahnya memang seperti pendatang dan berumur sekitar 18 tahun. Dia menjual tenun dengan berbagai motif dan kualitas. Harga pun ditawar bisa, antara 35.000-300.000 tergantung ukuran.

  
 Saya Bersama Achmad sang Pedagang 



Pedagang-pedagang lain yang Punya Beragam Motif Kain Tenun

Setelah puas berbelanja, saya dan Onggo menuju sebuah taman yang katanya dulu tempat Soekarno mencari inspirasi saat diasingkan di Ende ini. Soekarno diasingkan di Ende selama 4 tahun (1934-1938). Setelah dari taman kami menuju Jalan Perwira untuk mencari Rumah pengasingan Soekarno. Kami banyak bertanya pada wrga setempat karena kami memang tidak tahu jalan di Kota Ende tersebut, Akhirnya sebuah jalan kecil yang dinamakan Jalan Perwira ketemu juga, hehehe. Dan yaaapp, Rumah Pengasingan Soekarno jadi kotak seng, dan terdapat tulisan “Maaf, sedang tahap renovasi*, yaelah lemesss.
Sedang Perbaikkan

Setelang siang, kami langsung pulang menuju rumah Pak Teguh dan makan siang. Sebelum pulang kami sempatkan membeli mangga Flores yang gedenya minta ampun, hehehe. Harga 20.000 cuma dapet 3 biji, hadeeeh. Jadilah makan siang kali ini 4 sehat 5 sempurna, hehehe.
Sama piring, Gedean Mangganya...

Setelah pak teguh pulang kerja, kami disiapkan dengan sebuah mobil kijang plat merah, seperti mobil camat yang lama tidak dipake, sungguh mengenaskan. Tapi tak apalah, yang penting (sepertinya) layak jalan, hehehe. Kami rencanakan untuk pergi ke sebuah pantai dan desa adat Wolotopo.
Kami pergi bersama Pak Teguh serta Istri dan anaknya, jadilah kami piknik keluarga, hehehe. Tujuan pertama di sebuah pantai pasir hitam. Jalan menuju pantai ini juga ribet sekali, kecil dan naik turun bukit. Setelah sampai dipantai, rasa nya ingin segera nyebur ke pantai… Airnya jernih dan sangat sepii. Hanya ada seekor kuda yang lagi galau sendirian disana,hahaha.
 Langsung saja Basah-basahan

 Ngintip Kuda

 
Kuda yang Diintip..hehehe
Pasir hitam dengan hiasan bukit karang menjadi pemandangan tersendiri disaat matahari akan terbenam. Kami puaskan rasa ingin menyentuh air laut, dingin dan segar rasanya. Bermain dipasir kayak anak TK ketemu bak pasir disekolahnya, hehehee.




 Piknik Keluarga...hehehe



Matahari yang Jernih tanpa Polusi

Puas dengan pantai, kami menuju rumah bapak Bernadus Dei, ketua adat desa Wolotopo. Kebetulan juga bapak Bernadus merupakan salah satu pegawai TN. Kelimutu juga. Kami dampai didesa Wolotopo, dari tempat kami parkir kendaraan menuju rumahnya sugguh PR banget, nanjak abiss men!
Nampak Dari Bukit Seberang

 Nampak saat Kami Berjalan Ke Puncaknya

 Rumah beratap dengan Seng mengikuti Jaman

Umur panjang

Terlihat Rumah adat yang masih dipertahankan bentuk dan bahan bangunannya. Masih juga ada ibu-ibu yang membuat kain tenun. Kami menuju puncaknya lagi, terdapat kubur duduk dan kubur batu peninggalan jaman Megalithikum. Pada masanya warga yang meninggal akan dikubur duduk sebelum mereka mendapatkan kubur batu. Ukuran ukur batu sekitar  1,5m x 0,5m x 0,5m. Berat batu bisa mencapai  1 ton. Mereka mendapatkan batu-batu tersebut dari bukit-bukit yang lumayan jauh jaraknya.
 Peti selama menunggu persediaan Batu untuk Kubur

 Suasana di Senja Hari

 Kubur Batu

Pak Bernardus Menjelaskan Detail

Kami turun menuju rumah adat milik Bapak Bernadus. Dia masih mempertahankan atap berbahan alang-alang dan kayu besi untuk bagian pondasi rumahnya. Biaya pembuatan rumah bisa sangat mahal karena tiap pemasangan bagian dari rumah harus melalui upacara adat.
 Bagian Ruangan untuk yang Sakit

Tempat memasak yang sangat Mahal Biaya "Selamatannya"

Kami bersantai sejenak di teras rumah bapak Bernadus sambil mencicipi Kopi flores dan gorengan seadanya. Mantap rasanya sambil ngobrol. Terlihat juga bagian belakang rumah berhadapan langsung dengan laut.
 Santai di Teras Rumah

Pemandangan depan rumah seperti ini, sapa yang Nolak???

Kami segera berpamitan dengan Pak Bernadus untuk melanjutkan perjalanan kami. Stetelah dari desa adat kami langsung berburu kuliner di Ende, ya ikan laut dengan bumbu Endenya. Tibalah kami di sebuah rumah makan dipiggir pantai. Sebuah ikan kakap besar menjadi menu malam ini. Mak nyuss. Beum kenyang rasanya, lanjut lagi di warung kaki lima, Mie Ayam (lho?).  Beda lho dengan mie ayam Jawa, karena bumbu ayamnya menggunakan bumbu Kare…enak poll dan perut dah ngga muat lagi.
Dinner Spesial

Saya dan Onggo menuju hotel ikhlas menemui teman saya Sendi, Meike dan Laras yang kebetulan pagi besok akan menuju Kelimutu. Kami berbincang untuk rencana besok pagi. Mereka akan berangkat dengan Travel yang sudah mereka sewa, dan saya dan Onggo akan menggunakan M*0 pak Teguh untuk naik, karena setelah dari Kelimutu kami akan lanjut ke Maumere. Malam ini kami tidur dengan tenang karena perung kenyang. Beristirahat untuk menyiapkan serangan fajar besok pagi. (Bersambung)

PT. Eigerindo Multi Produk Industri
Eiger Adventure Store (EAS)
Jln. Teuku Umar No.92. Denpasar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar